H.Nasrullah (Mat Solar) : Belajar dari Kesabaran Haji Sulam

SETELAH DIKENAL LEWAT SOSOK BAJURI, SUPIR BAJAJ YANG SELALU BERSETERU DENGAN IBU MERTUANYA, KINI MAT SOLAR HADIR SEBAGAI HAJI SULAM, TUKANG BUBUR YANG SABAR DALAM MENGHADAPI UJIAN DARI TETANGGANYA YANG SIRIK.

Selama beberapa pekan terakhir ini, masyarakat Indonesia mendapat suguhan sinetron yang berbeda darisinetron lainnya. Sebuah sinetron yang tidak hanya menghibur tapijuga menanamkan nilai-nilai positif bagi penikmatnya.lukanq Bubur Naik Haji The Series yang, tayang setiap hari inijuga memberi arti tersendiri bagi Mat Solar, tokoh HajiSulam, tukang bubur yang berhati mulia.

Di sela-sela syuting sinetron tersebut, Mat Solar menyempatkan diri meneeritakan sepenggal kisah hidupnya untuk pembaca Majalah NooR. Bapak dari 3 anak ini berharap, apa yang disampaikannya bisa memberi manfaat bagi yang membacanya.

Malam sudah larut, namun lampu-lampu kamera masih menyala dengan terang. Para kru masih giat bekerja mengejar agar sinetron ini bisa tayang esok hari. Sinetron kejar tayang memang bukan pilihan tepat untuk orang seusia saya. Tapi saya memberi pengecualian untuk sinetron ini karena seperti merasa ada ikatan batin antara saya dan tokoh yang saya perankan.

Berawal dari sinetron lepas, sinetron Tukang Bubur Naik Haji kemudian dikembangkan menjadi serial yang ditayangkan setiap hari. Saya beruntung kembali dipertemukan dengan Nani Wijaya yang dulu menjadi ibu mertua saya di sinetron Bajaj Bajuri. Kali ini beliau menjadi ibu saya dengan karakteryang jauh berbeda dari peran sebelumnya. Alhamdulillah, sinetron ini mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat meski harus bersaing dengan sinetron remaja.

Saya memang bukan pemain baru di dunia hiburan.
Sebelumnya, orang mengenal saya sebagai pelawak dan penyiar radio bergenre humor. Saya lahir di Jakarta, tepatnya di kawasan Pejompongan, pada tanggal 4 Desember 1962. Saya berasal dari keluarga besar keturunan Betawi asli. Ayah saya, almarhum H. Muh. Ali Sidik dan ibu saya Hj. Rosani, memiliki sembilan orang anak, dan saya sendiri anak mereka yang kelima. Dari semua anak orang tua saya, hanya saya sendiri yang memilih hidup sebagai seniman.
 

Dari Supir Bajaj Ke Tukang Bubur

Memasuki masa SMP, saya sudah mulai aktif berkesenian dengan bergabung di grup teater Betawi, Teater Mama. Awalnya, grup teater ini hanya mengisi acara di kampung-kampung, paling banter di sekolah-sekolah. Tapi seiring waktu, nama Teater Mama semakin dikenal sampai akhirnya mendapat kesempatan untuk mengisi acara di TVRI selama kurun 1978 hingga 1982.

Pada waktu itu pula saya menemukan nama populer saya yang melekat hingga saat ini. Ceritanya, saya memerankan tokoh utama yang bernama Mat Solar dan tokoh tersebut benar-benar berkesan bagi penonton dan membuat saya lebih dikenal sebagai Mat Solar daripada Nasrullah.

Dari panggung teater Betawi, saya berkiprah di dunia radio dengan menjadi penyiar di Radio Suara Kejayaan dan manajer produksi di Bens Radio. Suatu hari, saya bertemu dengan Hardi dan Syarifuddin Jaluski dan lahirlah ide untuk merilis sinetron komedi tentang supir bajaj. Nama Bajuri diambil dari dari tokoh yang saya mainkan di film pertama saya, Mendung Tak Sdamanya Kelabu (1982).

Mungkin karena wajah saya yang nggak pantas memerankan tokoh jahat maupun konglomerat, saya kembali mendapatkan peran yang masih dari kalangan ekonomi lemah. Bedanya, kali ini saya menjadi tukang buburyang karena ketakwaannya kepada Allah kemudian menjadi kaya raya dan bisa naik haji.
 

Belajar dari Haji Sulam

Berbeda dari tokoh-tokoh yang sebelumnya saya mainkan, Haji Sulam merupakan sosokyang patut menjadi panutan. Meski kerap difitnah dan dizalimi oleh pasangan Haji Muhidin dan Hajjah Maimunah, orang kaya yang tidak suka melihat kesuksesannya, namun Haji Sulam selalu sabar dan tidak pernah membalas perlakuan tetangganya itu.

Orang seperti Haji Sulam, bukannya tidak ada. Masih banyak orang yang bersikap seperti itu, yang selalu sabar meski disakiti dan ikhlas dalam membantu siapa saja, tak perduli orang tersebut sudah menyakitinya.

Saya tidak pernah menjadikan peran sebagai beban, sebaliknya belajar dari setiap peran yang saya mainkan. Kalau dulu saya menjadi supir bajaj yang lugu dan takut sama mertua, kini menjadi tukang bubur yang selalu berbaik sangka pada apapun yang ditakdirkan Allah padanya. Buat saya, semua peran adalah guru dimana saya bisa belajar darinya.

Saya menyadari, bekerja di dunia hiburan memang memiliki resiko tersendiri. Saya berharap saya tidak akan menjadi orang yang mengalami post power syndrom meski orang sudah melupakan saya. Saya hanya ingin menjadi hamba Allah yang baik dan imam yang baik bagi keluarga saya. Semoga Allah mengijabah doa saya yang sederhana ini. Amin.

(NOOR, EDISI 1433, JUNI-JULI 2012)