Latief Sitepu : Sinetron Paling Fenomenal

 

Pada awalnya, tokoh yang sangat dinantikan kehadirannya dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji adalah Mat Solar. Lelaki yang bernama asli Nasrullah itu menarik perhatian pencinta sinetron ini karena memerankan tokoh Bang Sulam yang sabar dan selalu tersenyum.

Dalam sinetron yang skenarionya ditulis oleh H. Imam Tantowi ini, Bang Sulam digambarkan sebagai seorang tukang bubur yang sangat sabar menghadapi cobaan dan halangan. Dia selalu tersenyum, betapa pun sulitnya situasi yang dihadapinya. Dia tinggal di sebuah rumah sederhana bersama istrinya, Rodiah yang diperankan oleh Uci Bing Slamet, dan ibunya, Emak yang diperankan oleh Nani Wijaya.

Tokoh antagonis dalam sinetron yang disutradarai H. Ucik Supra ini adalah Haji Muhidin. Tokoh ini diperankan dengan sangat baik oleh Latief Sitepu. Setiap hari, selalu saja ada konflik di antara Bang Sulam dan Haji Muhidin. Sampai-sampai putri mereka, Rumanah, diperankan oleh Citra Kirana, dilarang berhubungan dengan Robby, diperankan oleh Andi Arsyl. Robby, dalam sinetron yang diproduksi oleh SinemArt ini, adalah adik ipar Bang Sulam.

Sinetron yang ditayangkan oleh RCTI sejak Mei 2012 lalu ini langsung mencuri perhatian pencinta sinetron keluarga karena dianggap sebagai sebuah refleksi yang tepat dari apa yang terjadi sehari-hari dalam masyarakat. Sabarnya Bang Sulam di hadapan kerasnya Haji Muhidin membuat sinetron ini, perlahan namun pasti,

menggeser posisi sinetron lain sebagai yang terbaik dalam list AC Nielsen. Selama beberapa bulan, sinetron ini keluar sebagai sinetron terbaik.

Banyak orang mengira bahwa kepergian Mat Solar akan menurunkan rating dan share sinetron ini. Alasan mereka, adalah Mat Sulam yang membuat sinetron ini disukai masyarakat dan bukannya pemain lain seperti Latief Sitepu dan Citra Kirana. Kesabaran Bang Sulamlah yang membuat sinetron ini disukai orang dan bukannya kedengkian Haji Muhidin.

Ternyata perkiraan orang salah. Ketakhadiran Mat Solar tak membuat rating sinetron yang diproduseri Leo Sutanto ini melorot. Sampai saat ini, sinetron ini masih menjadi yang terbaik. Duduk di urutan pertama dalam daftar sinetron terbaik. Adalah karakter Haji Muhidin yang membuat sinetron ini tetap disukai.

Sebetulnya, jika diperhatikan baik-baik, karakter Haji Muhidin sangat tidak disukai orang. Sangat dibenci orang. Tapi, harus diakui, sinetron ini menjadi menarik karena karakter antagonis yang diperankan dengan sangat baik oleh Latief Sitepu ini. Itulah mengapa, orang selalu menantikan kehadiran sinetron ini.

Setiap hari, orang seperti ditantang untuk menebak-nebak apa lagi yang akan dihadirkan Haji Muhidin. Orang seperti ingin tahu sifat dan sikap apa lagi yang diperlihatkan Haji Muhidin setiap episode. Orang seperti ingin tahu bagaimana lagi air muka Haji Muhidin di depan kamera. "Haji Muhidin itu dibenci orang. Tapi setiap hari orang selalu tunggu sinetron ini. Menurut saya, penulis ceritanya yang hebat karena bisa ngegambarin apa yang terjadi di masyarakat," kata Romly, pemimpin produksi, di lokasi syuting sinetron Tukang Bubur Naik Haji di Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu (9/2) siang lalu.

Konfrontasi dengan MalaysiaSiapakah pemeran Haji Muhidin ini? Bagaimana dia bisa membuat tokoh naskah ini bisa sangat hidup? Dan bagaimana pula dia menghadapi cacian dan ketaksukaan pencinta sinetron ini?

Sabtu (9/2) sore lalu, kami sempat ngobror dengan si pemeran tokoh Haji Muhidin ini di sebuah rumah warga, yang dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji ini dijadikan rumah Haji Muhidin, di JI. Mandiri, Cibubur. Kami ngobrol santai di ruangan tamu pada sela-sela waktu jeda.

Sore itu, Latief terlihat bersemangat. Padahal hari sudah sore dan ia sudah menjalani syuting beberapa scene sejak siang tadi. Bahkan bolak-balik ke lokasi tim 1 dengan sepeda motor. Sekadar informasi, ada 4 tim yang menggarap sinetron ini. Scene dalam rumah ini dan sekitarnya, termasuk di lapangan voli yang terletak di pinggir Jl. Mandiri, digarap oleh tim 2.

Latief tersenyum ketika diminta fotografer kami bergaya di depan kamera. "Gaya bagaimana ini?" tanyanya sambil tersenyum. la tidak tahu harus bergaya bagaimana didepan kamera fotografer. "Berdiri saja, ya," pintanya sambil tersenyum dan menarik ujung baju koko cokelat bermotif batiknya. Lalu ia dijepret beberapa kali. Kemudian duduk di atas sofa berwarna hijau lumut. Di situ juga ia dijepret beberapa kali.

Setelah dijepret beberapa kali, ia menoleh dan tersenyum kepada kami. "Maaf, ya. Tadi memang tidak bisa karena lagi padat," katanya sambil tersenyum. Sebelumnya, di depan teras, kami memang sempat mendekatinya. Saat itu, ia sedang asyik membolak-balik lembaran naskah.

Di ruangan tamu itu, Latief membuka sedikit tentang perjalanan kariernya. la bercerita penuh semangat. Tertawanya pun lepas. Tidak jutek dan sinis seperti karakter yang diperankannya di dalam sinetron. Wajahnya justru terlihat segar dan sumringah. Apa adanya. "Kelihatan masih segar, ya? Karena saya minum air putih yang banyak, tidak merokok, dan tidak minum alkohol," katanya.

Latief lahir di Binjai, Sumatera Utara, 10 Mei 1942. Jauh sebelum bermain dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji ini, ia sudah bermain dalam beberapa film. Waktu itu sebagai pemain figuran. "Tapi orang tua tidak setuju," katanya. Alasan ayahnya waktu itu, masa depan orang yang bermain film tidak terjamin.

Orang tuanya memang tidak setuju. Tapi keinginannya untuk terjun ke dunia film tidak bisa ditahannya. Akhirnya ia memutuskan untuk lari dari rumah. la minggat ke rumah omnya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Omnya adalah anggota Brimob.

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di pelabuhan, ia melihat ada pengumuman penerimaan anggota baru kesatuan patroli pantai dan laut. Dengan ijazah SMP, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi pengawas laut dan pantai. Waktu itu, ia belum tamat SMA. "Waktu itu, saya kesal karena cita-cita saya terhambat. Akhirnya ikut pasukan. Waktu itu lagi konfrontasi dengan Malaysia," ceritanya.

Pada waktu itu, ia sangat pesimis. Pesimis karena menjadi seorang pengawas laut dan pantai bukanlah cita-citanya. la hanya mau menjadi seorang aktor. Dengan demikian, tak jadi masalah kalau ia ikut berperang dan gugur di medan perang. "Kalau pergi perang dan mati, mati sajalah," katanya.

Ketika menjadi anggota pengawas laut dan pantai inilah, Latief berkenalan dengan Lailawaty Hasibuan, seorang perempuan cantik kelahiran Riau, 23 September 1950. Mereka bertemu pada tahun 1968. Mereka menikah pada 14 April 1968 di Dumai, Riau.

Setelah menikah, mereka tinggal di rumah orang tua Lely, demikian panggilan istrinya. Cukup lama mereka tinggal di situ. Setelah itu, ia dan Lely hidup berpindah-pindah di beberapa daerah di Sumatera. Ke mana ia ditugaskan, ke situ Lely pergi bersamanya. "Kami lama hidup berpindah-pindah," ujarnya.

Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai enam orang anak perempuan. la dan Lely mendidik anak-anak mereka dengan disiplin yang tinggi. "Saya selalu tekankan pentingnya disiplin waktu. Itu harus betul-betul dijaga. Kalau tidak, celaka," ungkapnya.

Kalau salah satu anaknya melanggar disiplin waktu itu, ceritanya, ia akan mengumpulkan semua anaknya. "Pulang dari kantor, saya langsung cek anak-anak sudah tidur atau belum. Kalau ada yang belum ada, saya langsung kumpulin semua dan kasih tahu mereka bahwa waktu itu penting," terangnya sambil tersenyum dan membuka kopiah putihnya.

Dari 6 anak itu, 2 di antaranya sudah meninggal dunia. Yang pertama dan yang ketiga. Kini, keempat anaknya itu, Julianti, Sri Maharani, Indah Sari, dan Amelia Ekawati, sudah menikah. "Saya sudah punya 7 orang cucu," katanya sambil tertawa.

Paling Fenomenal. Setelah sekian lama bertugas di daerah Sumatera, Latief akhirnya memutus­kan untuk pindah ke Jakarta, la pindah ke Jakarta supaya bisa bermain film lagi. "Soalnya saya lihat teman-teman saya sudah pada sukses semua. Saya lihat Rhoma Irama sudah sukses," katanya.

Sekadar diketahui, dulu, sama seperti Rhoma Irama, Latief punya orkes. Mereka sering tampil di berbagai kampung. Rhoma tampil di kampung lain, ia pasti tampil dengan grup orkesnya di kampung lain. Tapi orang tuanya tidak setuju, sehingga grup orkesnya itu kemudian bubar.

Ternyata tidak mudah untuk minta supaya dipindahkan. la mengalami kesulitan. Akhirnya ia meminta bantuan orang tuanya. Ayahnya, seorang polisi, menulis ' surat permohonan kepada menteri supaya ia dipindahkan ke Jakarta. "Alasannya, saya mau temanin Ayah yang sudah tua," kenangnya sambil tertawa. Permohonan ayahnya dikabulkan.

Latief, Lely, dan anak-anaknya pindah ke Jakarta pada tahun 1981. Setelah 7 bulan tinggal di Jakarta, datang seorang sutradara. Namanya Zunaidi. Dia meminta Latief berakting. "Saya yakin Bapak bisa main," kata Zunaidi waktu itu. Latief sendiri pensiun pada tahun 1998.

Selama berkarier di dunia seni peran, Latief sudah bermain dalam sejumlah film dan sinetron. Sebut saja, Mawar untuk Dini yang tayang di TVRI, Pondok Pak Jhon yang tayang di Indosiar, Jalan Makin Membara bersama Dede Yusuf, Si Buta dari Gua Hantu, Bukan Perempuan Biasa, Apa Artinya Cinta, Senandung Masa Puber, dan Red Cobek ini.

Dari semua film dan sinetron itu, Tukang Bubur Naik Haji adalah yang paling fenomenal untuknya. Baru dalam sinetron inilah ia dikenal luas. "Ini yang paling fenomenal. Saya gak mimpi bisa seperti ini. Ini sebuah anugerah untuk saya," ungkapnya sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Obrolan kami sempat terhenti ketika seorang kru muncul di hadapan kami. Di tangannya ada nampan hitam. Dan di atas nampan hitam itu ada 2 gelas kopi susu. "Silakan minum, Mas," katanya kepada kami segera setelah meletakkan 2 gelas kopi itu ke atas meja. Lalu dia kembali ke dapur. "Kru di sini baik-baik," puji Latief sambil tersenyum.

Latief kembali melanjutkan ceritanya. la mengatakan bahwa ketika ia sudah berdiri di hadapan kamera, ia melepaskan sifatnya sebagai seorang Latief Sitepu. Di depan kamera, ia adalah seorang Haji Muhidin yang sangat menjengkelkan banyak orang itu. "Ini memang fenomenal, tapi juga beban untuk saya. Saya harus tampil sebaik mungkin sebagai Haji Muhidin. Saya merasa punya tanggung jawab terhadap sekitar 200 kru. Nasib mereka juga tergantung pada saya," terangnya.

 

(GENIE, Edisi 27, 15-21 Februari 2013)