Boy dan Abah Raya Hadiri Talk Show

Aula Kampus Uhamka, Jakarta Timur, heboh Kamis (28/4) siang, ketika Fathir Muchtar dan Stefan William menjadi bintang tamu dalam talk show 'Wajah Pendidikan dalam Serial TV Kita'. Histeria para mahasiswa tak terbendung ketika ikon serial televisi paling laku saat ini tersebut masuk ruang diskusi untuk berbagi pengalaman terhadap para mahasiswa calon guru.

Pemeran Boy (Stefan William) dan Abah Raya (Fathir Muchtar) dalam serial Anak Jalanan di RCTI itu hadir untuk berbagi pengalaman, semangat, dan inspirasi terhadap para mahasiswa calon guru. Stefan mengungkapkan perspektif peran Boy, yang menurutnya, harus dijalani profesional sekaligus membawa pesan positif bagi penonton. Di samping pentingnya pendidikan, ia menggugah sisi kemanusiaan anak muda yang saat ini kian terkikis.

Sosok Boy yang digandrungi anak muda adalah bagian dari budaya pop. Manfaatnya adalah menebar pesan  positif secara efektif. Sementara Fathir, yang pernah menetap di Bandung, membawakan identitas kultural Sunda sebagai keragaman Indonesia, la turut berterima kasih karena diapresiasi dan mendapat masukan tentang peran orang tua sebagai self-control terkait tayangan televisi sesuai anak.

"Saya berharap, akan semakin banyak interaksi positif yang bisa dibangun para pembuat film dengan . penonton. Sehingga tercipta sinergi antara dunia perfilman dan pertelevisian di Indonesia," ucap Fathir.

Sementara Dani Sapawie yang ikut mengisi talk show menegaskan, SinemArt Productions punya standar nilai dalam menentukan judul dan muatan film dan film televisi yang diproduksinya. Sudah " tentu tak semua orang setuju dan memiliki standar moral sama dengan yang digariskan SinemArt.

"SinemArt meyakini, program yang diproduksi tidak hanya mempertimbangkan rating dan sharing. Sinetron ini juga berada di koridor keseimbangan antara hiburan dan penularan mental positif bagi penonton," jelas orang yang pernah membidani serial lepas Ketika Cinta Bertasbih, Tukang Bubur Naik Haji, FTV bernuansa Islami, dan tayangan muatan edukatif lainnya ini.

Dalam konteks hiburan, dialog dan adegan yang kerap dianggap tak mendidik, sudah melewati pantauan Lembaga Sensor Film (LSF). Meski SinemArt memerhatikan koridor LSF, sejumlah adegan mesti dihilangkan setelah dikaji LSF. la menambahkan, posisi Anak Jalanan yang berada di top rating, adalah buah pikir cerdas dan kerja keras dalam membaca realitas kompetitif.

Di antara pesan moral yang ingin disampaikan, menurut Dani, yaitu bersikap jujur, santun, dan menghormati guru bukan sekadartempelan dan sisipan. Di tempat terpisah, Arturo GP, anggota LSF dan pengajar IKJ menyatakan, LSF sudah menentukan peringkat penonton yang layak menonton tayangan.

Self-control orang tua, diakuinya, mengarahkan tayangan layak tonton, terutama bagi anak. Misalnya, larangan setiap siswi menggunakan rok di atas lutut. Arturo menambahkan, perlunya memberi ruang imajinasi dan idealisasi bagi penonton. Serial televisi sebagai hiburan juga memiliki fungsi katarsis, pelepasan dari himpitan hidup dan pengapnya ruang publik. Termasuk berita politik yang melelahkan khalayak.

Talk show dipandu M.Taufan Agasta, penggiat Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Talk show ini membuka ruang dialog sehat, agar publik di dengar, tercerahkan, dan bisa memberi masukan pada pembuat film dan LSF yang mewakili publik mengontrol tayangan.

Dr. Edy Sukardi, sebagai tuan rumah, memberi kesempatan bagi dua aktor Anak Jalanan itu untuk berbagi pengalaman di tengah padatnya jadwal syuting, menghadapi fans dan haters. Selain di atas, acara juga dihadiri Prof. Dr. Muhadjir Effendi M.AR Ketua PP Muhammadiyah bidang Pendidikan, Seni Budaya, dan Olahraga. Talk show ini akan ditindaklanjuti dengan workshop film bagi para guru, mahasiswa, dan pelajar di beberapa kota di Indonesia.

 

(Cek & Ricek, Edisi 923, 4-10 Mei 2016)